Jumat, 09 Mei 2025

Hubertus Johannes Van Mook dan Lahirnya Garis Pembatas di Tengah Revolusi Indonesia



sejarah31.com - Garis Van Mook, sebuah demarkasi teritorial yang membekas dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949), tak bisa dilepaskan dari sosok Hubertus Johannes van Mook. Ia adalah seorang administrator kolonial Belanda yang menduduki posisi penting sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa genting tersebut. Pemahaman mengenai latar belakang dan peran Van Mook menjadi kunci untuk mengerti asal usul garis pembatas yang kontroversial ini.

Hubertus Johannes van Mook lahir di Semarang pada tanggal 30 Mei 1894 pada masa kuliah pemikiran Van Mook banyak dipengaruhi oleh orientalis pada masa Hindia Belanda yaitu Snouck Hurgronje pengaruh ini membuat Van Mook memimpikan negara federal yang ingin ia wujudkan ditempat kelahirannya. Sebelum menduduki jabatan Letnan Gubernur Jenderal, Van Mook telah memegang berbagai posisi penting, termasuk Direktur Departemen Urusan Ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki pandangan pragmatis dan berusaha mencari solusi realistis dalam menghadapi gejolak politik di Hindia Belanda.

Menjelang dan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Van Mook menjadi figur sentral dalam upaya Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia berpandangan bahwa kemerdekaan penuh bagi Indonesia belum saatnya, dan lebih memilih model federasi di bawah naungan Kerajaan Belanda. Pemikiran inilah yang kemudian mewarnai kebijakan-kebijakannya, termasuk pembentukan Garis Van Mook.

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Belanda, yang didukung oleh Sekutu, berusaha untuk kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Namun, mereka menghadapi perlawanan sengit dari bangsa Indonesia yang telah bertekad untuk merdeka, tekad bulat ini menguat setelah proklamasi 17 Agustus 1945.

Dalam situasi konflik yang memanas, Belanda menyadari kesulitan untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia secara cepat. Strategi yang kemudian dipilih adalah mengamankan wilayah-wilayah strategis dan penting secara ekonomi, terutama di Jawa dan Sumatera. Di bawah kepemimpinan Van Mook, pemerintah kolonial mulai melakukan aksi-aksi militer untuk menduduki kembali wilayah-wilayah tersebut.

Pembentukan Garis Demarkasi: Strategi Kontrol Teritorial

Sebagai bagian dari strategi penguasaan wilayah yang bertahap, Van Mook dan para petinggi militer Belanda mencetuskan ide untuk menarik garis demarkasi. Tujuan utama dari garis ini adalah:

  1. Memisahkan Pasukan, Mencegah kontak langsung dan bentrokan yang lebih besar antara pasukan Belanda (KNIL) dan pasukan Republik Indonesia (TNI) di wilayah-wilayah yang diperebutkan.
  2. Mengamankan Wilayah yang Dikuasai Belanda, Memperkuat kontrol Belanda atas wilayah-wilayah yang telah berhasil diduduki, termasuk kota-kota besar dan area dengan sumber daya ekonomi penting.
  3. Membatasi Gerak Republik, Secara efektif membatasi wilayah de facto Republik Indonesia, menyulitkan mobilisasi kekuatan dan sumber daya.
  4. Sebagai Garis Negosiasi, Belanda mungkin juga melihat garis ini sebagai pijakan untuk negosiasi di masa depan, di mana wilayah di luar garis akan diakui sebagai bagian dari Republik dengan syarat-syarat tertentu.

Garis Van Mook pertama kali muncul dalam bentuk yang tidak formal, mengikuti garis terdepan pasukan Belanda setelah aksi-aksi militer mereka. Seiring waktu, garis ini menjadi lebih jelas dan bahkan digambarkan dalam peta-peta militer Belanda. Namun, penting untuk ditekankan bahwa Republik Indonesia tidak pernah mengakui legitimasi garis ini.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Garis Van Mook bukanlah entitas yang statis. Posisinya terus berubah seiring dengan dinamika pertempuran dan hasil perundingan. Misalnya, setelah Agresi Militer Belanda I, garis ini mengalami perubahan signifikan sesuai dengan wilayah-wilayah yang berhasil diduduki Belanda. Demikian pula, Perjanjian Linggarjati dan Renville turut mempengaruhi konfigurasi garis ini, meskipun tidak menghapusnya secara total.

Keberadaan Garis Van Mook membawa dampak yang luas: memecah belah wilayah dan masyarakat, memicu konflik bersenjata di sepanjang garis, menghambat aktivitas ekonomi, dan menjadi simbol perlawanan bagi bangsa Indonesia. Garis ini menjadi pengingat akan upaya Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya dan kegigihan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Akhir dari Garis Van Mook

Garis Van Mook akhirnya kehilangan relevansinya setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tahun 1949. Pengakuan ini secara otomatis menghapus garis-garis demarkasi yang memisahkan wilayah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Namun, jejak sejarah Garis Van Mook tetap terukir dalam memori kolektif bangsa Indonesia sebagai simbol perjuangan dan pembatasan wilayah di masa revolusi.

Dengan memahami peran Hubertus Johannes van Mook sebagai arsitek kebijakan kolonial pada masa itu, kita dapat lebih mengerti mengapa dan bagaimana Garis Van Mook terbentuk. Garis ini adalah manifestasi dari strategi Belanda untuk mengendalikan situasi di tengah gelombang revolusi, sebuah garis yang pada akhirnya runtuh seiring dengan kemenangan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Jilbab : Dari Ditakuti Hingga Digandrungi


 sejarah31.com - Pernah menonton film Dilan? jika pernah disatu adegan film tersebut ada 1 gambar tokoh revolusi Iran Ayatullah Al Khomeini adegan ini lantas menimbulkan banyak pertanyaan salah satunya apakah Dilan seorang Syiah, namun pembuat film Dilan Pidi Baiq mencoba menjelaskan bagaimana jiwa Zaman yang ada pada film Dilan tidak sama dengan jiwa Zaman saat penayangan film Dilan. Dilan yang berlatar tahun 1990 mensejajarkan pemimpin Iran Ayatullah Al Komaeini sebagai sosok revolusioner sama halnya seperti tokoh revolusioner lainnya seperti Che Guevara yang juga saat itu bertebaran posternya dimana-mana.

Semangat Revolusi Iran yang Anti barat masuk ke Indonesia kemudian meluas melalui banyak kelompok diskusi mahasiswa islam, hal ini selanjutnya mendorong para aktivis islam menyebarluaskan simbol-simbol islam yang salah satunya adalah Jilbab. Selanjutnya Jilbab ditanggapi serius oleh pemerintah pada masa orde baru, bahkan beberapa peristiwa menandai bagaimana jilbab begitu ditakuti mengutip majalah Historia.com pada Awal tahun 1982 seorang siswa SMAN 1 Jember yang bernama Triwulandari dikeluarkan dari sekolah dengan alasan melanggar ketentuan aturan pemakaian seragam sekolah pada saat itu.

Pada masa itu pengguna jilbab belum sebanyak sekarang sehingga perempuan pengguna jilbab begitu mencolok dilingkungannya, namum  lambat laun penggunaan Jilbab dikalangan pelajar mulai populer sampai-sampai pemerintah pada saat itu mengeluarkan aturan baru tentang standarisasi penggunaan seragam secara Nasional.

Aturan ini dibuat dengan tujuan ketertiban terutama disekolah-sekolah negeri namun semenjak aturan ini berlaku kasus-kasus seperti Triwulandari justru semakin banyak, hampir 10 tahun semasa orde baru penggunaan jilbab menjadi hal yang abu-abu, indentitas agama yang seharusnya tidak dikait-kaitkan pada politik menjadi ketakutan tersendiri bagi para penggunanya dalam menjalankan aktivitas keagamaan yang mereka anut. 

Katakutan menjalakan salah satu perintah agama islam dalam menutup aurat  dengan berjilbab menjadi penomena tersendiri bagi remaja perempuan islam saat itu hingga pada tahun 1991 pemerintah mulai mengijinkan  kembali penggunaan jilbab disekolah secara umum.

Pasca reformasi jilbab seperti baru terlahir, penggunaan jilbab menjadi bagian dari bentuk kebebasan berekspresi momentum ini kemudian menjadi titik balik bagaimana model penggunaan jilbab bermunculan bahkan menjadi identitas tersendiri baik untuk kelompok maupun pribadi.

Seiring berjalannya waktu, Jilbab bertranformasi menjadi penghias berpakaian bagi banyak perempuan muslim dengan ragam modelnya Pengunaan jilbab hari ini merupakan proses panjang dari banyaknya perjuangan berekpresi para perempuan muslim untuk menjadikan jilbab seperti sekaran ini. 

Kamis, 01 Mei 2025

Ki Hadjar Dewantara: Peletak Fondasi Pendidikan yang Memerdekakan Indonesia

 



sejarah31.com - Sosok Ki Hadjar Dewantara (KHD) bukan sekadar nama dalam sejarah Indonesia, melainkan fondasi kokoh bagi sistem pendidikan nasional yang kita kenal hingga kini. Pemikirannya yang revolusioner dan perjuangannya yang gigih telah mengubah lanskap pendidikan dari warisan kolonial yang diskriminatif menuju sistem yang lebih inklusif dan berorientasi pada kemerdekaan belajar. Memahami gagasan KHD berarti menelusuri akar filosofis pendidikan Indonesia yang menekankan pada humanisme, nasionalisme, dan kemandirian. Dasar inilah yang perlu kita pahami dan sepakati untuk menjawab banyak tantangan perubahan zaman sehingga bangunan pendidikan kita tidak asal cantik tapi kuat dan kokoh.

Sebelum kemerdekaan, sistem pendidikan di Hindia Belanda sangatlah elitis dan diskriminatif. Akses pendidikan berkualitas terbatas pada kalangan bangsawan dan anak-anak Eropa, sementara mayoritas pribumi hanya mendapatkan pendidikan seadanya yang lebih bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah bagi kepentingan kolonial. Kondisi inilah yang mendorong Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (nama asli Ki Hadjar Dewantara) untuk lantang menyuarakan kritik.

Salah satu kritik pedasnya tertuang dalam tulisan monumentalnya, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) pada tahun 1913. Dalam tulisan tersebut, KHD menggunakan ironi untuk menggambarkan betapa tidak adilnya perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda di tengah penindasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat Indonesia. Tulisan ini membawanya pada pengasingan, namun justru di sanalah pemikirannya tentang pendidikan semakin matang.

Trilogi Pendidikan: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani

Sekembalinya dari pengasingan, KHD mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, sebuah gerakan pendidikan yang meletakkan dasar bagi pendidikan nasional. Filosofi pendidikannya terangkum dalam tiga semboyan yang sangat terkenal:

Ing Ngarso Sung Tulodo: Di depan, seorang pendidik harus mampu memberikan teladan yang baik. Guru bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menjadi contoh perilaku dan karakter yang patut ditiru oleh siswa.

Ing Madyo Mangun Karso: Di tengah, seorang pendidik harus mampu membangkitkan semangat dan prakarsa siswa. Guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk aktif belajar dan mengembangkan potensi diri.

Tut Wuri Handayani: Di belakang, seorang pendidik harus mampu memberikan dorongan dan arahan. Guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk berkembang sesuai minat dan bakatnya, sambil tetap memberikan bimbingan yang diperlukan.

Trilogi ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan representasi dari pendekatan pendidikan yang holistik dan humanis. KHD menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada siswa (among), menghargai kodrat alam dan kemerdekaan setiap individu.

Setelah kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia. Pemikiran-pemikirannya menjadi landasan utama dalam penyusunan sistem pendidikan nasional. Prinsip-prinsip seperti pendidikan yang inklusif, berpusat pada siswa, dan menghargai keberagaman terus diupayakan implementasinya hingga saat ini.

Meskipun zaman telah berubah, relevansi pemikiran KHD tetap terasa kuat. Tantangan pendidikan modern seperti globalisasi, perkembangan teknologi, dan kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas semakin mengukuhkan pentingnya pendidikan yang memerdekakan, kreatif, dan berkarakter. 

Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional yang telah meletakkan fondasi filosofis dan praktis bagi sistem pendidikan di Indonesia. Melalui kritik terhadap pendidikan kolonial, pendirian Taman Siswa, dan rumusan trilogi pendidikan, ia telah mewariskan gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan, humanis, dan berakar pada kebudayaan bangsa. Memahami dan menginternalisasi pemikiran KHD adalah kunci untuk terus mengembangkan sistem pendidikan Indonesia yang berkualitas dan relevan dengan kebutuhan zaman, demi mewujudkan cita-cita bangsa yang cerdas dan berkarakter.

untuk lebih mendalami tentang sejarah Ki Hajar Dewantara penulis melampirkan buku digital.


Selasa, 29 April 2025

Model Belajar Think Pair And Share dalam Program Literasi Mingguan Sekolah

 


sejarah31.com - Literasi, yang seringkali hanya dipandang sebagai kemampuan membaca dan menulis,  merupakan fondasi krusial bagi perkembangan individu dan kemajuan masyarakat. Lebih dari sekadar mengenali huruf dan merangkai kata, literasi membuka gerbang pengetahuan, memberdayakan pemikiran kritis, dan memungkinkan partisipasi aktif dalam kehidupan. Sekolah sebagai salah satu lembaga belajar menjadi bagian terpenting dalam meramu kegiatan-kegiatan literasi.

sekolah sebagai Lembaga pengembang literasi tidak hanya menyuguhkan bahan bacaaan yang bisu yang tersusun rapi di rak buku perpustakaan sekolah. Buku-buku ini harus sampai ke tangan anak-anak sebagai bahan yang menyenangkan untuk di olah di otaknya, dan mengapa buku, saat ini buku sendiri menjadi tempat istirahat bagi anak-anak dari kemajuan dunia digital yang arusnya sulit dibendung. Dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan literasi memberikan dampak yang langsung terasa. Kemampuan membaca memungkinkan individu untuk memahami instruksi, rambu lalu lintas, informasi kesehatan, dan berita terkini. Hal ini mempermudah navigasi kehidupan sehari-hari dan pengambilan keputusan yang lebih baik,  Literasi yang baik memampukan seseorang untuk menyampaikan ide dan gagasan secara jelas dan ringkas melalui tulisan maupun lisan. Ini penting dalam berinteraksi dengan orang lain, baik dalam lingkungan personal maupun profesional. Bagi pelajar dan mahasiswa, literasi yang kuat adalah kunci keberhasilan dalam memahami materi pelajaran, mengerjakan tugas, dan mengikuti ujian.

Membaca buku, artikel, atau sumber informasi lainnya memberikan wawasan baru, memperluas kosakata, dan meningkatkan pemahaman tentang berbagai topik. Ini berkontribusi pada pengembangan diri dan peningkatan pengetahuan secara berkelanjutan. Manfaat literasi akan terus mengembang dan fleksibel sesuai kebutuhan individu dalam memanfaatkannya. Oleh karena itu, investasi dalam peningkatan literasi adalah investasi yang sangat berharga untuk masa depan yang lebih cerah bagi setiap individu dan bangsa. Oleh karena itu sekolah berusaha berinovasi dengan program Literasinya salah satunya menjadikan model belajar think pair and share sebagai alat menyambung literasi untuk membangun minat dan koneksi individu satu dengan lainnya.

Program literasi sendiri sudah terjadwal setiap hari selasa 15 s.d 30 menit setiap hari selasa terjadwal rutin, beberapa bentuk kegiatan literasi sekolah seperti membaca Bersama di lapangan terbuka, menampilkan pembecaan puisi dongeng cerita pendek, berbagi hal menarik dari bahan bacaan, belajar membaca tanda grafik dan masih banyak lainnya. langkah-langkah kegiatan literasi dengan menggunakan model belajar Think Pair and Share terdapat dibawah dan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan.